Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

“Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah”

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 15 Juli 2013

Aslinya diterbitkan di edisi 7 Januari 1922 majalah Christian Science Sentinel


Orang telah banyak menulis, dan kemungkinan lebih banyak lagi yang berbicara tentang kebahagiaan; tetapi sampai kita menyadari bahwa kebahagiaan besifat rohaniah, dan sama sekali tidak bergantung kepada peristiwa atau keadaan kebendaan, maka kebahagiaan tidak memiliki dasar, seperti rumah orang yang bodoh, yang dibangun di atas pasir. Kita  dapat mengatakan dengan pasti, bahwa kebahagiaan merupakan tujuan setiap orang, sekalipun jalan untuk mencapainya berliku-liku. Orang yang sangat meterialistik, seniman, politisi, pelaku bisnis, ibu rumah tangga, anak kecil, semuanya sama-sama berharap mendapatkan kepuasan yang berkelanjutan saat mencapai suatu cita-cita atau tujuan. Tetapi, semua orang cepat atau lambat harus mengakui, bahwa ketidakpuasan serta kekecewaan tidak dapat dihindari sampai kita mencari kebahagiaan tersebut di atas dasar yang benar. Orang yang materialistik menemukan kejenuhan, bukan kepuasan; politisi menemukan bahwa ambisinya tidak memberikan buah yang diharapkan; pelaku bisnis seringkali mendapatkan kekayaan saat dia merasa bahwa usianya telah merampas kemampuannya untuk menikmati kekayaan itu, atau dengan terlambat menyadari bahwa ternyata kebahagiaannya yang utama adalah pada saat dia bekerja dan bahwa bekerja bukanlah semata-mata sarana untuk mencapai sesuatu. Demikianlah, masih banyak lagi yang dapat kita tambahkan. Manusia fana berusaha, tetapi mendapati bahwa keinginannya berada di luar jangkauannya, atau tidak memberinya kepuasan; atau terkadang, setelah mencapai semua yang diinginkannya, terus-menerus khawatir akan kehilangan hal tersebut.

Baru setelah kita menemukan Ilmupengetahuan Kristen dan mulai melihat, meskipun samar-samar, bahwa seperti dikatakan Ny. Eddy (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 468), “Tidak ada hidup, kebenaran, kecerdasan, atau substansi dalam zat,” kita menemukan bahwa kebahagiaan, seperti kerajaan surga, ada di dalam diri kita, dan dapat kita jangkau sekarang juga.  Sekaranglah hari keselamatan itu, bukan besok, bahkan bukan setengah jam yang akan datang, melainkan tepat di sini, sekarang juga, detik ini juga, kehadiran kebaikan yang maha-kuasa dan bersinar terang hadir di mana-mana. 

Budi insani cenderung untuk menunda. Orang mengatakan, “Betapa saya akan berbahagia jika sembuh!” orang lain, “Saya akan sangat berbahagia jika bisnis saya lebih lancar,” atau, “Saya akan sangat berbahagia jika rumah tangga saya berjalan mulus.” Semua ini ibarat memasang kereta di depan kuda. Yesus mengatakan, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:63). Pemazmur berkata, “Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian” (Mzm 100:4). Jadi, inilah aturannya. Kita datang ke hadirat kebaikan dengan menyadari bahwa kebaikan sudah senantiasa hadir, dan sekarang pun hadir, dan akan selalu hadir.  Yang diperlukan untuk menyadari fakta yang abadi ini adalah rasa syukur yang tidak berkesudahan. Ini berarti kewaspadaan yang terus-menerus untuk menyangkal kesesatan dengan kebenaran mengenai dusta yang disuguhkan, tidak peduli samaran apa yang seakan dikenakannya untuk mengelabui dan membuat hati kita ciut; ini berarti selalu menegaskan kebenaran dengan gembira, dan bersukacita tanpa henti. Hanya dengan cara seperti inilah Kebenaran dibuktikan. Juga dengan cara seperti inilah kita menjadi mampu memahami apa yang dimaksudkan Ny. Eddy saat menulis salah satu puisinya (Poems, hlm. 79): 

Asal Kasih memimpinmu,
Jangan bimbang;
Suka, duka pun dekatmu,
Hati tenang.

Ilmupengetahuan Kristen biasanya membalikkan semua kepercayaan kita sebelumnya.  Aturan ini tetap berlaku sehubungan dengan kebahagiaan. Umumnya kita bersyukur untuk kebaikan yang telah kita terima; sekarang kita harus belajar untuk mengucapkan kata-kata Sang Guru di depan kubur Lazarus: “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku" (Yoh 11:41). Yesus mengatakan hal ini sebelum Lazarus dibangkitkan dari kubur. Bahwa hal ini perlu, menjadi nyata dalam berbagai kejadian lain di Alkitab. Salah satu gambaran yang jelas adalah ketika Paulus dan Silas dipenjara. Mereka “menyanyikan puji-pujian kepada Allah” dan “terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua” (Kis 16:25, 26). Alih-alih meratapi nasib, mereka sama sekali bebas dari belenggu ketakutan atau kasihan kepada diri sendiri, sehingga tidaklah mungkin untuk membelenggu mereka dengan kepercayaan kebendaan, karena ketakutan adalah kepercayaan bahwa hidup ada di dalam zat. Memahami bahwa manusia bersifat rohaniah dan oleh karena itu tidak dapat terluka, mereka mencerminkan suka-cita alih-alih perasaan terluka atau benci, oleh karena itu mereka mampu membebaskan bukan hanya diri sendiri, bahkan orang yang memenjarakan mereka dan seluruh keluarganya juga dibebaskan dari kepercayaan bahwa manusia dapat dibelenggu atau dibatasi dengan salah satu cara, dan mereka semua menjadi pengikut Kristus. 

Demikianlah, jika pemikiran yang penuh sukacita ini menjadi suatu kebiasaan bagi kita, maka tidak sesuatu pun dapat mengalangi kita untuk menyembuhkan orang sakit dan memperbaiki orang berdosa; karena dalam semua keadaan, kebahagiaan sejati berarti   terus-menerus berpaling dari kesaksian kebendaan kepada Roh. Ini berarti tidak memberi perhatian sedikit pun kepada keadaan, peristiwa atau gejala yang bersifat kebendaan, dan oleh karena itu senantiasa mampu untuk bersukacita. Ini bukan suatu optimisme yang dangkal, yang tidak memikirkan orang lain dan tanpa  belas kasihan kepada orang lain; ini adalah pemahaman yang benar akan makna belas kasihan yang sesungguhnya, yang tidak pernah dinyatakan dalam persetujuan yang sia-sia dengan kesesatan, melainkan dalam Kasih ilahi yang dinyatakan, yang selalu melihat manusia sebagai bersifat rohaniah dan tidak pernah tunduk kepada keadaan kebendaan. Kasih inilah yang menyembuhkan. Singkat kata, hal itu berarti dikuasai sepenuhnya oleh Allah, bukan oleh kepercayaan dalam zat, dan ini merupakan hakikat dari doa penyembuhan Ilmupengetahuan Kristen. Ini adalah membuktikan fakta bahwa kasih, suka cita, dan damai adalah buah-buah Roh, dan tidak pernah berasal dari zat. Semua itu dapat diperoleh dengan pemikiran yang benar dan tidak dengan cara lain. 

Manakala kita belajar untuk selalu berpikir dengan benar, kita tidak akan lagi membuat rancangan dan menangguhkan kebahagiaan kita sampai terjadi sesuatu di masa depan, dan kita belajar untuk bersuka-cita sekarang juga, tidak peduli kita berhadapan dengan badai atau damai, dalam keadaan yang mulus maupun dalam kesulitan. Karena kalau kita memusatkan pikiran kepada Allah dan tidak kepada orang atau peristiwa, dan memahami bahwa Allah adalah Kasih yang sama dan senantiasa hadir, kemarin, sekarang, dan selamanya, adakah sesuatu yang dapat menyebabkan ketidakbahagiaan, ketakutan, kekhawatiran, dan kegamangan jenis apa pun? Ny. Eddy menulis dalam Miscellaneous Writings (hlm. 113), “Tidak ada yang perlu kita takutkan jika Kasih mengendalikan pikiran kita, tetapi kita akan menikmati semua yang ada di bumi dan di surga.” Jika kita berusaha mempraktekkan hal ini dalam semua pemikiran dan kehidupan kita sehari-hari, kita akan benar-benar mulai memahami apa yang dimaksud Yesus ketika dia mampu mengatakan, bahkan saat menghadapi penganiayaan dan kebencian dunia, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yoh 15:11). 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.