Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Penyembuhan: apa sesungguhnya yang kita coba lakukan?

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 19 Juni 2014

Aslinya diterbitkan di edisi Oktober 1989 majalah The Christian Science Journal


Setiap orang menginginkan kesembuhan. Ini sangatlah wajar. Mungkin tidak seorang pun di dunia ini yang tidak mendambakan penyelesaian atas masalah yang dihadapinya. Kita semua ingin agar segala hal diluruskan. Bahkan, di saat ini, ketika umat manusia baik secara individual maupun kolektif menghadapi tantangan yang begitu banyak serta mendesak, mungkin kesembuhan merupakan tujuan utama kita.

Bagi pelajar Ilmupengetahuan Kristen, penyembuhan diperoleh dengan mengikuti teladan Sang Guru, Kristus Yesus, yang menyembuhkan penyakit, dosa, kekurangan, badai, bahkan mengalahkan maut, melalui kuasa Allah. Dengan gamblang Yesus menyatakan bahwa orang yang percaya kepadanya akan dapat melakukan hal yang sama. Dan lmupengetahuan Kristen atau Ilmupengetahuan tentang Kristus, mengajarkan hukum-hukum rohaniah yang membuahkan penyembuhan atas ketidakselarasan melalui iman yang diterangi kepada Allah—melalui pemahaman akan kebaikanNya serta kuasaNya dan keselarasan sempurna kerajaanNya yang bersifat rohaniah, termasuk manusia yang diciptakan dalam gambarNya. 

Edisi Journal ini, seperti juga edisi-edisi keagamaan lainnya yang diterbitkan Gereja Kristus, Ahli Ilmupengetahuan, baik yang mingguan, bulanan maupun triwulanan, memuat surat-surat yang menceriterakan tentang penyembuhan. Semua itu berasal dari orang-orang yang belajar mengetahui bahwa Allah maha-baik dan bahwa manusia adalah sempurna serta sehat karena diciptakan dalam keserupaan rohaniah Allah.

Tetapi terkadang, bahkan orang yang terbiasa dengan penyembuhan Kristiani—yang menganggap hal tersebut sebagai akibat yang wajar serta tidak terelakkan dari ibadah rohaniah yang murni—menghadapi kesulitan yang tidak dengan cepat dapat diatasi melalui doa. Masalahnya seakan terus bertahan meskipun kita telah melakukan upaya maksimal untuk mengenal Allah dengan lebih baik dan menyangkal gangguan iblis baik dalam bentuk ketakutan atau penderitaan atau pencobaan.

Jika ini terjadi, saat kita merasa “terhalang oleh tembok yang tebal” dalam upaya kita untuk menyembuhkan, akan bermanfaat jika kita berhenti bergumul untuk beberapa saat, jika kita berjeda dalam berdoa, dan bertanya kepada diri sendiri, apa sesungguhnya yang kita coba lakukan.

Jika kita benar-benar jujur dalam menjawab pertanyaan tersebut, kemungkinan jawabannya adalah, bahwa kita berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang sejati dan bersifat tidak baik.

Bagi budi insani, kelihatannya sangat wajar bahwa penyakit merupakan sesuatu yang harus dimusnahkan; bahwa orang yang tidak menyenangkan atau penguasa yang sewenang-wenang adalah seseorang yang perlu dihilangkan dari pengalaman kita; bahwa keadaan yang tidak menyenangkan atau gawat merupakan sesuatu yang ingin kita hindari; bahwa kelaparan atau kekurangan  merupakan sesuatu yang perlu kita atasi, dan sebagainya.

Tetapi jika kita melihat Sang Guru sebagai teladan kita dalam penyembuhan, kita akan memperoleh pandangan yang berbeda tentang proses mengatasi kesulitan manusia. Menurut yang tertulis di dalam Injil, Yesus tidak pernah menangani masalah dengan sikap “Wah, sungguh memprihatinkan. Bagaimana kita harus mengatasinya?” meskipun sudah pasti dia membuangkan kejahatan dengan kewenangan yang berasal dari kuasa serta kehadiran Allah. Dasar yang digunakannya adalah  "Kerajaan Sorga sudah dekat," (Mat. 10:7) dan atas dasar inilah Yesus menilai apa pun yang muncul dalam penglihatannya. Baginya kesehatan, keselarasan, kecukupan, keadilan merupakan tata yang wajar akan segala hal, dan kekurangn hal-hal tersebut bukan merupakan sesuatu melainkan jelas-jelas ketidakhadiran sesuatu—ketidakhadiran yang seakan nyata mengenai keutuhan rohaniah yang kita tahu adalah kesejatian yang senantiasa hadir.

Dari teladan Sang Guru, kita mengetahui bahwa cara untuk mengatasi kejahatan adalah memahami bahwa kejahatan tidak mungkin sejati karena Allah, kebaikan, adalah semua. Yesus berkata mengenai iblis, atau kejahatan, bahwa "Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44).

Yang sesungguhnya perlu kita buang adalah kepercayaan bahwa kejahatan sama sejati seperti kebaikan; bahwa dusta sama sejati seperti kebenaran. Mary Baker Eddy menyatakan permasalahannya dengan jelas: "Tidak pernah sekejap pun kejahatan bersifat sejati. Fakta agung tentang semua kesesatan ini membawa serta kebenaran lain yang lebih mulia, bahwa kebaikan adalah mahakuasa. Karena tidak ada yang lain daripada Dia, dan Dia sepenuhnya baik, maka kajahatan tidak bisa ada. Hanya menyatakan kebenaran agung ini saja tidaklah cukup! Kita harus mengamalkannya, sampai Allah menjadi Semua dan Satu-satunya wujud kita” (No and Yes, hlm. 24-25).

Keyakinan Yesus yang kokoh dalam segala keadaan, bahwa kebaikan Allah senantiasa hadir dan tersedia, menjadikan wajar baginya untuk membungkam kesaksian-kesaksian yang agresif mengenai penyakit, perilaku yang  penuh dosa, dan keadaan yang membahayakan. Yesus tahu bahwa Allah bukan saja 100% baik, tetapi juga 100% hadir dan bersedia serta sanggup untuk memelihara manusia. Yesus membuktikan bahwa kejahatan tidak mempunyai kuasa di hadapan keselalukehadiran serta kemahakuasaan kasih Allah dan pemeliharaanNya yang praktis bagi anak-anakNya.

Dengan mengikuti teladan Yesus, kita pun dapat berpikir untuk membuktikan kehadiran serta kuasa Allah, alih-alih mengakui bahwa ada kejahatan yang “sejati.” Ini bukanlah pemikiran positif yang naif dan tidak realistik; ini adalah doa yang bersifat rohaniah, praktis dan efektif, karena merupakan ibadah yang murni. Percaya bahwa kejahatan hadir berarti percaya bahwa kebaikan tidak hadir. Dan percaya bahwa kebaikan tidak hadir berarti percaya bahwa Allah tidak hadir, seluruhnya atau sebagian, dalam suatu keadaan atau di tempat tertentu. Percaya bahwa Allah, atau salah satu sisi kebaikanNya serta kasihNya, tidak hadir, sudah tentu tidak menyembah Allah seperti yang dilakukan Sang Guru kita.  

Mengatasi kejahatan yang seakan begitu menonjol dalam sejarah umat manusia, bukanlah suatu proses intelektual melainkan proses pertumbuhan rohaniah dan pembuktian Kristen. Saya pernah mempunyai pengalaman yang jelas mengenai hal ini. Karena pindah ke kota lain, saya harus menemukan ruang kantor yang baru, karena itu saya mencari tempat yang kelihatannya cocok lalu menyewanya. Semuanya berjalan lancar sampai orang lain datang menyewa ruangan kosong di sebelah kantor saya. Saya segera mendapati bahwa dinding yang memisahkan ruang kantor kami tidak kedap suara. Saya dapat mendengar semua percakapan di kantor sebelah, seakan di kantor saya sendiri.

Saya melaporkan masalah tersebut ke manajemen gedung dan mendapat jaminan bahwa mereka akan segera menanganinya. Tetapi mereka sama sekali tidak melakukan sesuatu. Saya berkali-kali menyampaikan keluhan, dan setiap kali mendapat jawaban bahwa mereka akan segera menanganinya; tetapi itu tidak terjadi.

Yang membuat saya makin menginginkan agar masalah tersebut segera dibenahi adalah karena tetangga saya itu banyak bicara, bahasanya kurang santun, dan kelihatannya tidak mengindahkan standar moral yang tinggi.

Menjadi sangat sulit bagi saya untuk mempertahankan keadaan mental yang bermanfaat bagi pekerjaan saya. Semakin hari saya semakin geram terhadap tetangga saya dan semakin terganggu oleh apa yang saya anggap kinerja buruk dari manajemen gedung.

Selama berbulan-bulan saya berdoa mengenai masalah tersebut, tetapi doa saya pada dasarnya diwarnai dengan pemikiran bahwa jawabannya adalah terbebas dari tetangga sebelah, atau dari praktek buruk yang dinyatakan manajemen gedung. Akhirnya saya begitu terganggu sehingga merasa perlu menelepon seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen untuk membantu mengangkat pikiran saya melalui doa. Penyembuh itu mendengarkan cerita saya dengan tenang kemudian mengatakan dengan lembut bahwa sifat membenarkan diri sendiri merupakan ganjalan dalam memperoleh kesembuhan.

Ini bukan sesuatu yang saya harapkan, tetapi hal tersebut membuat saya meninjau kembali posisi saya. Ketika memalingkan pikiran saya kepada Allah dalam doa guna memperoleh kerendahan hati untuk melihat apa yang diberitahukanNya kepada saya, jawabannya datang dengan begitu jelas: Dengan terus mengakui adanya ketidaknyamanan dari tetangga sebelah, dan juga tidak adanya manajemen yang baik atas gedung tersebut, pada dasarnya saya telah menyangkal bahwa Allah ada di mana-mana. Merasa ditegur oleh kesadaran tersebut, saya berdoa untuk mendapatkan pengampunan Allah karena telah percaya bahwa ada sifatNya yang suci yang tidak tersedia di situ atau di sesuatu tempat, dan dengan sepenuh hati saya mengakui keselaluhadiran kebaikan serta kasih karuniaNya.

Beberapa menit setelah terjadi perubahan pikiran mengenai masalah ini, seorang teman yang berkantor tidak jauh dari kantor saya datang menawarkan suatu pemecahan yang sebelumnya tidak terpikirkan—yakni, minta bagian pemeliharan gedung membantu saya, alih-alih manajemen gedung. Pekerja yang datang menanggapi pengaduan saya melalui telepon menyatakan sepenuhnya sifat-sifat yang selama ini seakan tidak terlihat bagi saya: kejujuran, perhatian yang tulus, keinginan membantu. Dalam dua minggu pekerjaan itu selesai.

Selama kita percaya bahwa kejahatan memiliki kesejatian dan kehadiran, kita percaya bahwa Allah, kebaikan, tidak hadir. Ini berarti tidak mengikuti teladan Kristus Yesus, yang membuktikan kehadiran Allah di setiap tempat. Pada saat kita digoda untuk memusatkan perhatian kepada kejahatan yang harus diatasi, kita dapat berdoa dengan kerendahan hati untuk melihat kehadiran Allah, sifat-sifat kebaikanNya, tepat di tempat di mana kejahatan seakan ada, dan menyangkal kesejatian kejahatan itu.

Ini bukan sekedar berpikir positif, ini adalah doa yang menyembuhkan. Mengakui dan menerima kehadiran kebaikan rohaniah adalah menyerah kepada kebenaran wujud, dan penyerahan ini membawa kesembuhan. Apa yang kita akui sebagai kebenaran banyak menentukan apa yang kita alami. Seperti ditulis Ny. Eddy, "Tujukanlah pikiran dengan tetap kepada yang kekal, yang baik, dan yang hakiki, maka makin dipenuhi pikiran kita dengan hal itu, makin banyak kita akan mengalaminya dalam kehidupan” (hlm. 261).

Apakah yang kita coba lakukan dalam penyembuhan? Kita tidak berusaha membuang sesuatu yang “sejati” yang kita sebut kejahatan. Kita berupaya untuk mengikuti teladan Sang Guru untuk melihat Allah, kebaikan, sebagai kehadiran di mana-mana dan mencukupi semuanya dan dengan demikian membuktikan ketidaksejatian kejahatan. Kita melihat bahwa kerajaan surga sudah dekat, melihat kehadiran kebaikan Allah, dan sebagai akibatnya, adalah mustahil bahwa kejahatan sejati dan ada. Kita mengakui kemahakuasaan serta kesemestaan kebaikan sebagai satu-satunya faktor penentu dalam kehidupan manusia, dan ini merupakan doa yang efektif dan menyembuhkan.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.