Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Mengapa kita berdoa?

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 22 Juli 2014

Aslinya diterbitkan di edisi Mei 2014 majalah The Christian Science Journal


Setiap kali saya menyadari bahwa saya sedang berdoa untuk merubah atau memperbaiki keadaan insani saya, saya tahu bahwa saya berada di jalan yang salah.

Sekilas, pernyataan tersebut terdengar aneh. Bukankah seharusnya kita berharap agar doa kita mendatangkan hasil? Ya, memang seharusnya begitu. Tetapi hasil yang bagaimanakah yang kita harapkan? Sesungguhnya, mengapa kita berdoa?

Satu hal yang sudah pasti tidak bisa kita harapkan dari doa adalah merubah kesejatian. Alkitab berulang kali menyatakan kepada kita bahwa Allah, kebaikan, adalah satu-satunya pencipta, dan karena itu ciptaanNya pastilah baik—dan tidak hanya baik, melainkan sempurna (lihat Matius 5:48). Tidak ada gunanya berusaha merubah kesempurnaan, bahkan jika kita bisa.

Lalu, mungkin kita merasa harus berdoa guna mendatangkan perubahan di dunia, yang jelas sekali jauh dari sempurna. Kita mungkin berdoa untuk merubah tubuh kebendaan yang sakit menjadi sehat, atau menjadikan bagian-bagian yang tidak menyenangkan dari kehidupan menjadi menyenangkan. Dan jika boleh jujur, seringkali itulah yang saya coba lakukan saat berdoa. Tetapi ada masalah dengan pendekatan seperti itu.

Jika zat tidak sempurna dan terbatas, dan memang benar demikian, maka zat tidak mungkin berasal dari Allah, yang adalah kesempurnaan yang tidak berhingga. Oleh karena itu, pada hakikatnya zat tidak mungkin sejati. Jadi berdoa untuk merubah zat atau memperbaiki zat adalah membuang-buang waktu karena kita tidak bisa memperoleh hasil apapun dari sesuatu yang tidak sejati. Betapa pun giatnya kita mencoba, kita tidak bisa merubah warna dari kuda bertanduk satu, karena binatang seperti itu tidak ada.

Pernyataan bahwa zat tidak sejati merupakan salah satu ajaran pokok dalam Ilmupengetahuan Kristen. Mary Baker Eddy, penemu dan pendiri Ilmupengetahuan Kristen, sangatlah tegas mengenai hal tersebut. Misalnya, di halaman 26 buku Miscellaneous Writings 1883–1896, ia mengatakan: “Allah adalah Semua, dalam semua. Adakah yang melebihi Semua? Tidak sesuatu: dan inilah yang saya sebut zat, tidak sesuatu. Dan di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, dia mengatakan, “Apabila substansi Roh menjadi nyata dalam Ilmupengetahuan Kristen, maka diakuilah ketidaksesuatuan zat” (hlm. 480). Ny. Eddy membuat beratus-ratus pernyataan serupa dalam karya-karya tulisnya.

Kelihatannya ini sulit dipahami—hal ini berlawanan dengan “penalaran yang umum,” sebagaimana didefinisikan oleh penanggapan kebendaan. Tetapi mengatakan bahwa zat tidak sejati bukannya tanpa alasan, demikian pula hal tersebut bukan permainan kata-kata falsafah timur tanpa makna yang praktis. Hal itu adalah kebenaran yang mendasar dan penting mengenai kehidupan, dan merupakan dasar bagi penyembuhan dalam Ilmupengetahuan Kristen. Sesungguhnya zat tidaklah ada—tidak ada zat yang indah atau yang jelek, tidak ada zat yang tua atau yang muda, tidak ada zat yang baik atau yang buruk, tidak ada zat yang berguna atau tidak berguna. Zat tidak bisa menjadi lebih baik atau lebih buruk, lebih sehat atau lebih sakit. Zat tidak bisa hidup, dan tidak bisa mati. Zat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap zat, sebagaimana kita pun tidak bisa menunggangi kuda bertanduk satu. Oleh karena itu tidak ada gunanya sama sekali berdoa untuk merubah hal yang bukan sesuatu, yang kita sebut zat.

Tak dapat disangkal bahwa zat kelihatannya benar-benar sejati. Mengapa demikian? Karena kita percaya bahwa zat sejati. Seperti setiap kebohongan atau khayalan, zat dan semua yang menyertainya—penyakit, bencana, pertikaian, peperangan, bahkan maut—kelihatannya sejati sebanding kita percaya akan kesejatian hal-hal tersebut. Sebagaimana dikatakan Ny. Eddy dalam Unity of Good, “Apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasa, ialah suatu bentuk kesadaran, dan tidak dapat memiliki kesejatian yang lain daripada pengertian kita akan hal itu” (hlm. 8). Hal ini langsung membawa kita kepada jawaban atas pertanyaan, Mengapa kita berdoa? Kita berdoa untuk merubah “pengertian kita” akan hal-hal yang kita hadapi—dengan kata lain, kesadaran kita.

Kebanyakan pelajar Ilmupengetahuan Kristen memahami pentingnya pikiran. Tetapi penting sekali untuk memahami, bahwa saat berdoa, kita tidak berusaha “menggunakan” pikiran insani kita, yang “ada di dalam diri kita,” untuk merubah zat “yang ada di luar sana.” Alih-alih demikian, kita berdoa untuk membuka pikiran kita sehingga kita merasakan apa yang dirasakan Allah, melihat apa yang dilihat Allah, mengetahui apa yang diketahui Allah. Doa yang tulus, penuh pembaktian, dan gigih mendekatkan kita kepada Allah, dan penanggapan yang lebih rohaniah mengenai kehidupan menggantikan penanggapan yang kebendaan. Kita melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda, dan pengalaman insani kita pun berubah mencerminkan pandangan kita yang baru ini. Kita menyebut perubahan seperti itu penyembuhan, dan memang benar demikian. Tetapi selalu dalam setiap kejadian seperti itu, pikiran kitalah, bukan zat yang berubah.

Bagaimana dengan penyembuhan yang menakjubkan yang dilakukan Yesus, termasuk membangkitkan orang mati, seperti tertulis di Alkitab? Dan bagaimana dengan beribu-ribu penyembuhan yang dibuktikan kebenarannya (dan sering kali dibenarkan secara medik), yang telah diterbitkan selama satu seperempat abad di majalah-majalah Ilmupengetahuan Kristen? Bukankah ini menunjukkan bahwa doa merubah zat?

Tidak! Dalam setiap penyembuhan tersebut, meskipun kelihatannya hal itu menyangkut masalah fisik, kesembuhan bukanlah perubahan pada zat melainkan perubahan pandangan, perubahan pikiran. Saya melihat sekilas kebenaran ini bertahun-tahun yang lalu.

Ketika masih remaja dan mengikuti perkemahan di musim panas, pergelangan kaki saya mengalami cedera berat saat ikut pertandingan sepak-bola. Saat terjatuh, saya melihat pergelangan kaki saya bengkok membuat sudut siku-siku terhadap betis saya, dan saya mendengar bunyi keras seperti sesuatu yang patah. Saya segera merasakan kesakitan yang dahsyat, dan pergelangan kaki saya membengkak hebat serta berwarna lebam dan tidak bisa menopang tubuh saya. Saya adalah satu-satunya pelajar Ilmupengetahuan Kristen di situ dan berusaha untuk tidak terkesan oleh cedera tersebut, tetapi gejalanya makin memburuk. Sore harinya saya menelpon seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen untuk mendapatkan bantuan doa, kemudian saya pergi tidur, berharap semuanya akan menjadi baik.

Di tengah malam saya terbangun dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Saya berjalan tertatih ke gedung sebelah agar cahaya lampu saya tidak mengganggu orang lain, dan mulai berdoa, dengan mempelajari berbagai pernyataan dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan yang saya bawa. Pernyataan-pernyataan tersebut menegaskan status manusia sebagai ciptaan rohaniah, tidak tunduk kepada keadaan kebendaan. Pada awalnya, saya seakan hanya membaca kata-kata saja, tetapi secara perlahan saya membuka pikiran kepada kebenaran yang dinyatakan kata-kata tersebut, dan timbullah harapan akan kesembuhan.

Lalu tiba-tiba muncul pikiran: kaki yang keseleo dapat sembuh dengan cepat, tetapi patah tulang akan memerlukan waktu lebih lama. Dan pikiran tersebut segera diikuti dengan perasaan kuat bahwa kebenaran yang telah saya nyatakan memang sesungguhnya benar: saya bersifat rohaniah, oleh sebab itu apa pun yang dikatakan zat mengenai pergelangan kaki saya—bahwa pergelangan kaki saya telah keseleo, atau patah, atau bahkan sama sekali tidak cedera—tidaklah relevan. Saya tidak tersusun dari zat dan tidak dapat dipengaruhi zat, baik demi kebaikan maupun sebaliknya. Saat itu, saya tahu bahwa semua itu benar; kebenaran tersebut sangat wajar dan jelas seperti mengetahui bahwa dua ditambah dua sama dengan empat. Dan saat itu juga, rasa sakit itu hilang. Pergelangan kaki saya kembali seperti sediakala, tidak bengkak, warnanya yang lebam juga hampir sama sekali hilang, dan saya berjalan kembali ke perkemahan dan menghabiskan sisa malam itu dengan tidur nyenyak. Keesokan harinya saya sudah bermain sepak bola lagi, dan di hari kedua, semua bekas cedera itu hilang. 

Bagi penanggapan insani, pergelangan kaki saya telah berubah dari pergelangan kaki kebendaan yang cedera berat, menjadi pergelangan yang sehat. Dan sudah tentu saya bersyukur bahwa rasa sakit dan lemah itu telah diganti dengan kekuatan dan kesehatan. Tetapi hanya itulah yang sesungguhnya berubah—penanggapan saya tentang hal tersebut. Perohanian pikiran telah menentukan apa yang saya lihat dan rasakan. Zat tidak ada hubungannya dengan hal itu.

Jika kita masih sulit menerima penjelasan ini, tanyakanlah pada diri sendiri: Apa yang terjadi dengan otot dan urat kaki yang cedera, zat yang membengkak dan berwarna lebam, ketika pikiran saya berubah? Ke mana perginya semua itu? Jawabannya adalah, “tidak ke mana-mana” karena semua itu tidak pernah ada sejak semula, kecuali di dalam pikiran saya. Ketika saya berhenti menerima semua itu sebagai sesuatu yang sejati, semua itu kehilangan kesejatian yang seakan pernah dimilikinya. Ini adalah bukti yang jelas akan pernyataan Ny. Eddy di halaman 14 buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan: “Sadarilah untuk sesaat saja, bahwa Hidup dan kecerdasan bersifat rohaniah semata-mata — tidak ada di dalam zat dan tidak berasal dari zat — maka tubuh tidak akan merasa sakit lagi. Jika kita sedang menderita karena suatu kepercayaan akan penyakit, maka tiba-tiba kita akan mendapati bahwa kita sehat.”

Kita tidak perlu menjadi orang suci untuk bisa menyembuhkan; tetapi yang diperlukan adalah “sesaat saja” akan kesadaran yang diluhurkan. Dalam tingkat pengertian kita saat ini, saat-saat seperti itu seakan sulit didapat dan tidak datang sesering yang kita inginkan. Tetapi kita bisa mendapatkan semangat dari Yesus, yang hidupnya tentulah tersusun dari rangkaian saat-saat seperti itu, bak mutiara-mutiara yang tak ternilai harganya tersusun membentuk seuntai kalung.

Kita mungkin tidak bisa menyamai catatan penyembuhan Yesus, tetapi kita dapat memulainya, seperti yang diharapkan Yesus dari para pengikutnya (lihat Yohanes 14:12). Dan berpegang kepada fakta bahwa zat tidak memiliki substansi, merupakan tempat kita memulai. Dalam buku Rolling Away the Stone karangan Stephen Gottschalk, Ny. Eddy dikatakan memberi nasehat kepada seorang muridnya, “Apakah Anda mendapat kesulitan dalam menyembuhkan? Jika demikian, mulailah dengan pemahaman yang lebih luhur bahwa zat bukanlah sesuatu” (hlm. 327).

Jadi kalau kita mendapati diri kita berusaha merubah zat melalui doa kita, kita harus berhenti, karena zat tidak ada! Apa yang benar-benar dapat kita rubah—dan yang perlu kita rubah—adalah pemikiran kita mengenai hal tersebut. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.