Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Seni kasih karunia yang belum terlalu pudar

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 7 November 2019

Aslinya diterbitkan di edisi November 2019 majalah The Christian Science Journal


Selama sepuluh tahun saya telah banyak melakukan perjalanan. Pergi ke bandara sudah menjadi hal biasa bagi saya. Tetapi saya seharusnya lebih rajin memeriksa email tentang perjalanan saya. Bagaimanapun juga, kali itu adalah pertama kali saya menggunakan maskapai penerbangan ini. Saya tidak mengetahui prosedur cek-in mereka. Saya baru saja menyadari  bahwa maskapai penerbangan itu menerapkan tenggat waktu cek-in yang ketat. Jadi ketika saya pergi mencari taksi, dan tidak mendapatkan taksi satu pun, saya agak merasa panik, karena budaya di negeri yang saya kunjungi itu agak santai, jadi mungkin saya bisa, atau tidak bisa, mendapatkan taksi dalam waktu tiga puluh menit. Dan saya dapat melihat bahwa saya tidak bisa memenuhi tenggat waktu yang ditentukan itu. Padahal sore itu saya harus menyelenggarakan suatu acara di negara tujuan saya. 

Berdiri di depan konter, mendengarkan penolakan supervisor untuk mengikutkan saya dalam penerbangan itu untuk ketiga kalinya, saya merasakan suatu penyesalan yang dalam. Itu semua salah saya. Seharusnya saya  membuat persiapan ke depan yang lebih baik. 

Tetapi ini bukan alur pemikiran yang bermanfaat. 

Tidak ada sesuatu lagi tempat saya bisa bersandar selain  doa yang telah saya panjatkan. Saya telah memohon untuk dapat berbicara dengan semua orang yang dapat membantu. Saya telah menjelaskan betapa pentingnya saya harus berada di sana. Saya juga sudah menjajagi kemungkinan menggunakan penerbangan lain. Tetapi di negara pulau yang kecil itu, tidak ada penerbangan yang lain. Saya tidak akan berada di atas pesawat dengan segera.

Saya berpikir tentang kisah dalam Kitab Suci mengenai orang buta yang berseru kepada Yesus Kristus dari pinggir jalan untuk mendapat kesembuhan, di tengah suara orang banyak yang ribut (lihat Markus 10:46-52). Dalam Alkitab tertulis  bahwa Yesus “berhenti.” Kuasa Kristus, kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir yang ditunjukkan kepada kita oleh Yesus, menanggapi kegaduhan serta keributan dengan keheningan. Dalam keheningan, kita dapat merasakan sendiri kuasa ini. Yesus melukiskan kesatuan Allah dengan manusia dalam kata-kata ini: “Dari diriku sendiri aku tidak bisa berbuat apa-apa ... aku tidak hidup untuk menyenangkan diriku sendiri tetapi untuk melakukan kehendak Bapa yang mengutus aku” (Yoh. 5:30, J. B. Philips, The New Testament in Modern English).

Kesatuan kita dengan Allah ini memberi landasan bagi kasih karunia. Kasih karunia adalah suatu pengaruh ilahi yang memberi kita kekuatan, bahkan ketika sedang menghadapi cobaan. Pengaruh ilahi ini “senantiasa hadir di dalam kesadaran insani” (Mary Baker Eddy, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm xi). Hal itu tercakup di dalam sifat kita yang sejati dan tercermin dari Allah. Berkatnya adalah karunia yang kita peroleh dengan cuma-cuma, tidak harus diperjuangkan. Kasih karunia datang dari kasih Allah yang berkelanjutan tanpa bisa dihentikan—bahkan kalau kita berbuat salah. Ketika kita mengalami kasih karunia, kita mengalami dampak dari memahami Allah. Ego kita dan kemauan kita sendiri disingkirkan untuk membiarkan kasih karunia Tuhan—perasaan akan Kasih ilahi—bekerja di dalam diri kita.

Kasih karunia menunjuk kepada kesejatian ilahi: fakta, bahwa karena kehadiran ilahi Allah memenuhi semua ruang di dalam kesadaran, maka pandangan-pandangan yang terbatas dan membatasi tentang hidup yang berdasarkan materialisme harus menyerah. Hal ini mendatangkan harapan, kebaikan, dan kasih ke dalam pengalaman hidup kita dan membiarkan kita menghadapi masalah tanpa tekad yang menggebu atau kemauan diri.

Di dunia saat ini, kalau ego merupakan dorongan utama, kita bisa percaya bahwa kita tidak memerlukan pengaruh ilahi sedikit pun atas hidup kita agar kehidupan kita berjalan mulus. Bagaimanapun juga, mengatasi masalah terkadang bisa semudah berbicara melalui telepon genggam untuk mendapatkan informasi atau mengetik di kolom pencarian untuk mendapat jawaban atas masalah yang ada di pikiran kita. 

Tetapi dengan begitu banyak informasi yang mudah kita dapatkan, apakah kita melewatkan dampak kasih karunia yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari? Dan bagaimana kalau kita menghadapi masalah yang tidak dapat segera diselesaikan, atau kelihatannya tidak bisa diselesaikan—apakah kita melangkah maju dengan tekad menggebu atau mencari sesuatu untuk menghibur diri sehingga kita tidak terlalu memikirkan masalah itu, alih-alih berpaling kepada kehadiran ilahi?

Dalam karya utama Mary Baker Eddy tentang Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, tertulis bahwa yang terutama kita perlukan adalah doa untuk bertambah-tambah dalam kasih karunia (lihat hlm. 4). Tertulis juga, “Kasih karunia dan Kebenaran jauh lebih berkuasa  daripada segala jalan dan cara kerja yang lain” (hlm. 67). Daripada segala hal yang lain!

Hari itu di bandara, saya ingin sekali mengetahui kasih karunia ini. Saya buang sepenuhnya upaya untuk mengetahui apa yang harus saya lakukan dan saya tidak mencoba melarikan diri dari keputusasaan yang menyesakkan. Alih-alih demikian, saya sangat mendambakan untuk mengetahui lebih banyak tentang Allah dan merasakan kehadiran ilahi bersama saya di sana. 

Saya hanya berdiri diam menunduk dan secara mental menutup telinga terhadap semua kegaduhan itu. Dalam keheningan pikiran, saya mendengar suatu penegasan yang jelas: “Manusia itu penuh kebajikan.” Suara ini berbicara tentang kesejatian serta keindividuilan keakuan yang sejati dari manusia ciptaan Allah, yang sepenuhnya hidup di dalam Roh. Saya merasakan ketenangan yang sempurna, yang menanamkan saya dengan kokoh dalam kehadiran Allah yang selalu bersama saya—saya tidak berpikir tentang masa depan atau mengumpat masa lalu. Saya berhenti berpikir tentang apa pun kecuali kebenaran yang satu itu.

Ketika saya mengangkat kepala saya lagi beberapa saat kemudian, supervisor itu sedang menelpon. Mereka memutuskan untuk membiarkan saya ikut dalam penerbangan itu. Dalam dua puluh menit pesawat tinggal landas. 

“Ketika hati yang lapar memohon roti kepada Allah Ibu-Bapa, hati itu tidak diberi batu, — tetapi lebih banyak kasih karunia, ketaatan, dan kasih”  (Mary Baker Eddy, Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 127). Rasa lapar yang amat sangat ini mengakui bahwa kita tidak terpisahkan dari Allah. Hal itu menyingkirkan ego pribadi atau kemauan diri dan menunjukkan bahwa tidak ada kesalahan yang tidak dapat dijangkau kamahakuasaan Kasih ilahi. 

Doa Kristen yang ilmiah bukanlah tentang pemecahan masalah secara insani, yang berharap Allah akan campur tangan dengan memberi solusi. Hal itu adalah tentang menyelaraskan diri dengan  kesejatian ilahi yang selalu hadir. Dalam kesejatian tentang kesadaran ini, tidak masalah kalau kita berada di bandara, di gereja, atau di atas kapal di tengah samudra—kita dapat menemukan kesatuan dengan Allah yang ditunjukkan Yesus, dan melihat kasih karunia bekerja dalam hidup kita. 

Dipenuhi kasih karunia mendatangkan keindahan, ketenangan, kedamaian, serta ketenteraman ke dalam pengalaman kita. Ini sangat berlawanan dengan ego dan kemauan diri yang dengan tekad kuat hendak mengendalikan hidup atau berusaha agar orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Dan tidak seorang pun di antara kita tidak memiliki kasih karunia. Hal itu tercakup dalam sifat kita yang tercermin dari Allah dan dirasakan dalam keheningan.

Kita dapat dengan penuh semangat merasakan kehadiran ilahi ketika hati kita yang lapar mendambakan sesuatu yang lebih dari sekedar penyelesaian masalah. Kegaduhan suara mental yang berasal dari tuntutan kehidupan modern yang serba cepat, mengaburkan kehadiran ini. Tetapi kuasa Kristus membungkam kegaduhan itu dan menenangkan pikiran agar bisa merasakan kesatuan dengan kekuasaan ilahi.

Pengaruh ilahi akan kasih karunia memungkinkan kesadaran insani untuk naik lebih tinggi dari pandangan-pandangan yang suram tentang kehidupan guna mengalami kesejatian ilahi. Maka, melalui kasih karunia Allah yang sempurna, yang akan menjadi kesudahan dari keadaan yang memprihatinkan adalah, bahwa kita diberkati dan diampuni.

Larissa Snorek
Editor Madya

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.