Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Rasa syukur—pintu menuju kebaikan, Allah

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 7 November 2019

Aslinya diterbitkan di edisi November 2019 majalah The Christian Science Journal


Para pelajar Ilmupengetahuan Kristen di seluruh dunia sedang bersiap mempelajari Pelajaran Alkitab tentang Kebaktian Bersyukur dari Buku Triwulanan Ilmupengetahuan Kristen di bulan November ini dan turut mengambil bagian dalam kebaktian itu. Ketika kita merayakan seperti ini, kita mempraktekkan rasa syukur, dan dengan demikian membuka pintu pikiran kepada kebaikan, yang adalah suatu kesadaran akan Allah.

Saya mendapat pelajaran tentang rasa syukur baru-baru ini ketika rencana untuk pindah ke rumah baru secara tidak terduga berubah di saat terakhir. Saya sudah siap untuk pindah ketika transaksi pembelian batal dua minggu sebelum Natal, dan saya hanya mempunyai waktu empat minggu untuk mendapatkan tempat tinggal baru. 

Putera saya yang tertua dan isterinya berbesar hati menawarkan tempat bagi saya di rumah mereka. Meskipun saya sangat bersyukur mendapat jawaban yang penuh kasih ini untuk mengatasi keperluan saya yang mendesak, pada hari pertama saya tinggal di sana saya merasa sangat kecewa dan merasa tidak berada di tempat yang sesuai untuk saya. Saya pindah dari rumah yang besar dan lingkungan yang tenang ke suatu apartemen yang berada di tingkat bawah suatu rumah yang lebih besar dan berdekatan dengan jalur kereta api. Untungnya, pikiran saya yang menyedihkan itu tidak bertahan terlalu lama!

Saya tinggal di apartemen kecil tersebut selama tujuh bulan, dan selain untuk beberapa hari pertama itu, saya tidak terganggu oleh suara kereta api atau ruangan yang sempit; selalu ada solusi yang menjadikan saya mampu mengatasi keterbatasan. Waktu saya di sana sesungguhnya penuh sukacita, dan saya semakin bersyukur bahwa pengaturan tersebut memberi saya kebebasan bekerja dalam kapasitas saya yang baru sebagai guru Ilmupengetahuan Kristen. Biaya hidup saya sehari-hari menjadi sangat berkurang, hal mana membantu saya mempersiapkan langkah saya berikutnya. Secara keseluruhan, masa itu adalah masa yang penuh berkat. 

Tidak lama sesudah pindah ke rumah itu, saya terdorong secara ilahi untuk bersyukur. Ini bukan hanya sekedar bersyukur karena mempunyai tempat tinggal, melainkan suatu desakan agar benar-benar mengetahui bahwa Allah mengarahkan kita ke tempat kita yang benar. Saya telah mempertanyakan mengapa pengaturan untuk pindah ke rumah lain yang rencananya akan saya tempati telah gagal. Saya sadar bahwa saya perlu bersyukur bahwa Allah, yang sepenuhnya baik, memerintahi semua segi kehidupan kita, dan karena itu kebaikan pasti tersedia. 

Rasa syukur adalah pengakuan yang murni akan keselaluhadiran Allah serta karunia Allah akan kebaikan yang diberikan dengan cuma-cuma tanpa pilih kasih, apa pun yang menjadi persepsi manusia fana. Menyatakan rasa syukur adalah pengakuan yang sadar akan kehadiran kebaikan; itu adalah sikap mudah menerima yang membuka pintu kepada berkat yang lebih banyak lagi. Sebaliknya, kalau kita merasa tidak bersyukur, kita tidak menghargai apa yang telah diberikan Allah. Ketidakbahagiaan, keraguan, dan ketakutan mengabaikan keselaluhadiran serta kekuasaan Allah, dan karena itu menghalangi kita untuk merasakan sukacita dan  melihat solusi yang datang dari Kasih ilahi.

Saya tidak dapat minta lebih banyak kasih dari mereka yang telah berbesar hati membuka rumah mereka untuk menampung saya, namun saya merasa kasihan kepada diri sendiri. Kalau saya tidak menyangkal keadaan mental ini, saya pasti hanya akan terus melihat keterbatasan (ruangan yang sempit, kebisingan) alih-alih kebaikan yang tersedia dengan melimpah (penggunaan ruangan yang efisien, waktu serta tempat yang tersedia untuk pekerjaan penyembuhan). Ketika saya berpindah tempat lagi berbulan-bulan kemudian, tempat baru saya itu ternyata sesuai sekali, jauh lebih baik daripada yang saya rencanakan semula. 

Tentu saja, mudah untuk merasa bersyukur kalau semuanya berjalan baik. Tetapi saat keadaan sulit, sangatlah membantu untuk lebih memahami bahwa Allah—Hidup, Kebenaran, dan Kasih—adalah sumber dari segala kebaikan. Ketika kita sepenuhnya mengakui hal ini, kita bisa merasa bersyukur dengan tulus meskipun keadaan kelihatannya tidak begitu  baik. Tetap kokoh dalam memanjatkan rasa syukur kepada Allah atas berkat-berkatNya, apa pun keadaan yang kita hadapi, menyangkal pendapat bahwa dapat ada kuasa yang menentang Allah. Hal tersebut membungkam kepercayaan bahwa dapat ada sesuatu di samping Allah, kebaikan, dan penataan kembali pikiran ini mendatangkan penyesuaian serta kesembuhan. Mengakui sumber sejati dari kebaikan yang selalu hadir dan menyatakan damai serta sukacita di waktu yang sulit adalah definisi dari mempraktekkan rasa syukur!

Yesus Kristus memanjatkan rasa syukur kepada Allah, dan kemudian memberi makan lima ribu orang hanya dengan beberapa roti dan ikan. Keadaan saat itu menunjukkan adanya kekurangan yang sangat besar, meskipun demikian, sesudah orang banyak makan, berkeranjang-keranjang makanan dikumpulkan. Sudah pasti pemahaman Yesus yang jelas tentang kasih Sang Bapa yang melimpah sudah ada sebelum perlengkapan yang melimpah-ruah tersebut menjadi nyata bagi orang di sekelilingnya. Sebagai pengikut Yesus, kita mampu menirukannya dan dapat kurang meragukan bahwa berkat ilahi sudah tersedia di sini.

Dalam mengajarkan doa yang efektif kepada murid-muridnya, Yesus berbicara tentang perlunya melihat bahwa Allah siap sepenuhnya untuk memberi kebaikan dengan cuma-cuma (lihat Matius 7:11). Dan dalam bab “Doa” di buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy menulis, “Sungguh-sungguh bersyukurkah kita untuk kebaikan yang sudah kita terima? Maka kita akan mempergunakan berkat yang kita miliki dan dengan demikian menjadi layak untuk menerima lebih banyak lagi” (hlm. 3). Pada halaman yang sama dan halaman berikutnya, beliau melanjutkan bahwa rasa syukur harus dinyatakan dengan perbuatan, dan bahwa menyatakan syukur sementara kita merasa tidak bersyukur adalah munafik dan akan menjadikan kita merasa tidak puas. 

Rasul Paulus, yang tidak tahu apakah dia akan dihukum mati atau dibebaskan ketika menjadi tahanan rumah di Roma, menyatakan norma untuk rasa syukur ini dalam suratnya kepada jemaat di Filipi: “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga; tetapi, berdoalah tentang segala hal. Sampaikanlah kepada Allah apa yang kamu perlukan, dan bersyukurlah untuk semua yang telah dilakukanNya. Maka engkau akan mengalami damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal. Damai-sejahteraNya akan menjaga hati dan pikiranmu sebagaimana engkau hidup dalam Yesus Kristus” (Filipi 4:6, 7, New Living Translation).

Allah adalah Kasih yang tidak dapat salah, tidak berubah-ubah, tidak berat sebelah, universal, dan abadi. Pemahaman ini melampaui pemahaman fana akan kasih dan memberi landasan yang sangat kuat yang memungkinkan kita tetap kokoh ketika menghadapi ketidakselarasan, keterbatasan, atau kekurangan. Dengan mengetahui bahwa Allah adalah pemberi semua kebaikan, kita “menjadi layak” untuk menerima berkat yang melimpah. Dengan demikian doa syukur kita mengalir dengan bebas, dan kita dapat melihat dengan lebih baik keselarasan wujud kita yang sejati sebagai cerminan Allah, kebaikan.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.