Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Penyakit kulit — disembuhkan

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Juli 2009

Diterjemahkan dari majalah The Christian Science Journal, edisi Januari 2009


Dari abad ke abad, para penulis yang luar biasa, seperti Rene Descartes dan George Berkeley, telah mencanangkan keyakinan mereka bahwa zat tidak sejati, namun tidak seorang pun mencanangkannya sekuat Mary Baker Eddy, ketika ia menyatakan, “Tidak ada hidup, kebenaran, kecerdasan, atau substansi dalam zat” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 468).

Lebih dari setahun yang lalu, saya mendapatkan diri saya bergulat dengan pertanyaan ini—Apakah hidup dan substansi ada di dalam zat? Pada suatu pagi, saya bangun dan melihat salah satu kaki saya penuh dengan benjolan—mirip dengan cacar air, tetapi lebih parah. Beberapa hari kemudian, mulai timbul bercak-bercak merah, dan kaki saya membengkak. Tiga orang anggota keluarga saya telah mengalami tantangan dengan gejala-gejala yang sama, yang berakibat sangat parah. Pikiran saya dibayang-bayangi oleh hukum pewarisan, seperti hantu yang menakutkan. Secara bertubi-tubi saya didera oleh pertanyaan, Yakinkah Anda, bahwa penyakit tidak sejati? Gejala-gejalanya sangat menakutkan. Anda tidak dapat mengabaikannya.

Tetapi dalam Ilmupengetahuan Kristen saya telah belajar mengetahui, bahwa kesehatan yang sempurna merupakan warisan kita sebagai anak-anak Allah. Kita tidak perlu memohonkannya atau bekerja keras untuk mendapatkannya. Dengan kasih karunia Allah, kesehatan yang sempurna adalah milik kita. Tidak sesuatu pun dapat membalikkannya atau melanggarnya. Pernyataan ini dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan memberi keyakinan kepada kita, “…Ilmupengetahuan tidak mengetahui penyimpangan dari keselarasan ataupun kembali kepada keselarasan, melainkan mengajarkan, bahwa tata ilahi atau hukum rohaniah — tempat Allah dan semua yang diciptakanNya adalah sempurna dan abadi — tetap tidak berubah dalam sejarahnya yang abadi” (hlm. 471). Dalam doa yang saya panjatkan dengan rendah hati, saya menyatakan, bahwa saya utuh dan bebas sekarang juga, seperti keadaan saya senantiasa di masa yang lampau. Saya menegaskan, bahwa saya berpijak pada Kebenaran, dasar Kasih, yang tidak mencakup penyakit dalam bentuk atau wujud apa pun juga. Saya juga dikuatkan oleh pengertian, bahwa warisan saya yang sesungguhnya adalah sifat-sifat yang baik, seperti kejujuran, kemurnian, dan kekuatan.

Dengan terus-menerus mendoa untuk menyelesaikan masalah, saya dapat melihat bahwa saya tidak dapat membiarkan keadaan itu menentukan apa yang dapat dan tidak dapat saya lakukan. Oleh karena itu, keesokan harinya saya masuk bekerja — tanpa memperhatikan kaki saya pada waktu saya mengenakan pakaian, meskipun saya menemui sedikit kesulitan pada waktu saya memasukkan kaki saya ke sepatu saya. Sepanjang hari, saya dapat melakukan segala sesuatu seperti biasa, termasuk menaiki tangga dan memindahkan perabotan. Pada suatu petang pada minggu berikutnya, suami saya dan saya bahkan berbusana lengkap untuk menyaksikan sebuah opera. Saya melihat, bahwa bisnis saya juga bertambah maju sebagai hasil pemusatan perhatian saya terus-menerus kepada hubungan saya dengan Allah yang mahakuasa dan maha pengasih. Tidak peduli apa pun yang dinyatakan oleh keadaan yang kebendaan, saya tetap merasa yakin dan kuat.

Meskipun demikian, kaki saya masih terasa gatal dan sakit, dan meskipun saya bertekad untuk tidak memantau penampilan fisiknya, pada suatu malam ketika saya berganti pakaian untuk beranjak tidur, secara tidak sengaja saya melihat keadaan kaki saya. Alih-alih membaik, infeksi telah menyebar. Manakah yang benar? saya bertanya kepada diri saya sendiri, kemajuan dan kebebasan yang saya rasakan sebagai kebenaran, ataukah kepalsuan yang diucapkan berulang-ulang, yang dikemukakan oleh kesaksian kebendaan tentang kaki yang terserang penyakit? Saya teringat akan ayat Alkitab, “Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong” (Rm. 3: 4). Bagi saya hal itu berarti, bahwa setiap keadaan kebendaan yang tidak selaras adalah dusta; hanya yang diketahui Allah tentang diri kitalah yang benar. Demikianlah, sekali lagi saya memutuskan untuk berpihak kepada Allah. Saya tidak ingin menjadi kurban suatu dusta. Bersama Allah saya dapat keluar sebagai pemenang.

Seorang penyembuh yang saya minta untuk membantu saya dengan doa mengutip pernyataan Mrs. Eddy: “Paham palsu akan substansi ini haruslah menyerah kepada kehadiranNya yang abadi, lalu lebur” (Kesatuan Kebaikan, hlm. 60). Ibu penyembuh menyatakan, bahwa yang nampak sebagai keadaan yang berpenyakit sebenarnya hanyalah suatu saran mental — hanyalah bayangan saja dalam kesadaran saya, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk membuangnya adalah terang kebenaran rohaniah. Bukan ramuan atau obat atau waktu — melainkan fakta-fakta Hidup ilahi. Ia mengatakan kepada saya, bahwa sebagaimana bayangan tidak dapat dihapus dengan menggosok-gosoknya, mengecatnya, atau mencongkel-congkelnya, dan hanya teranglah yang dapat menghalaunya, demikian pula kepercayaan palsu hanya dapat dibuang dengan terang yang dikirimkan Allah kepada kita dengan perantaan pikiran yang dikaruniakanNya kepada kita — pesan-pesan rohaniahNya. Saya merasa sangat dikuatkan oleh pengertian, bahwa Allah terus-menerus menyampaikan ide-ide yang kita perlukan — termasuk bahwa ketidakselarasan tidak sejati. Dengan menyadari secara lebih jelas, bahwa keadaan itu hanyalah khayalan belaka — karena hal itu tidak dimungkinkan di bawah pemerintahan Allah yang pengasih — saya dapat melihatnya sebagai tidak lebih dari tantangan yang berifat menyimpang namun tidak berkuasa, terhadap suara Kebenaran.

Dua minggu kemudian, kami mengunjungi kerabat kami untuk merayakan Hari Bersyukur. Pada waktu saya sedang berpakaian untuk menghadiri peristiwa itu, saya menyadari bahwa kaki saya sudah sembuh sama sekali. Semua “bayangan” — ketakutan, gejala-gejala, keadaan fisiknya, telah hilang. Mary Baker Eddy menyatakan, “Ilmupengetahuan Kristen tidak pernah menyembuhkan pasien tanpa membuktian  dengan kepastian seperti dalam matematika, bahwa bila terdeteksi, kesesatan telah dimusnahkan dua pertiga bagiannya, dan sepertiga bagian lainnya memusnahkan dirinya sendiri” (Miscellaneous Writings 1883-1896, hlm. 210). Saya ingat merasa bersyukur untuk kebebasan yang telah saya miliki selama bertahun-tahun dalam bertugas sebagai pemandu sorak, berlatih senam, menari ballet, berolah raga lari, bermain ski, dan mendaki gunung. Dan saya tahu, bahwa kebebasan dan kekuatan yang saya nyatakan merupakan milik saya secara abadi sebagai anak Allah. Sifat-sifat itu tidak pernah dapat terserang penyakit atau mengalami kemunduran. Roh ilahi telah menjawab pertanyaan saya tentang ketidaksejatian zat dengan pembuktian yang jelas akan kesehatan dan keselarasan.

Sejak penyembuhan itu, saya bertanya kepada diri saya sendiri, Bagaimana saya dapat yakin akan kesudahan dalam menghadapi keadaan yang gawat? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya tidak akan “kalah” dalam pertempuran menghadapi lawan saya, pancaindera yang kebendaan? Dan saya teringat akan film yang saya lihat tahun lalu berjudul “The Great Debaters.” Seorang pelatih dalam kerampilan berdebat mengingatkan para pendebat binaannya, siapa sebenarnya yang menentukan kesudahan dalam setiap pertarungan. Ia mengajukan empat pertanyaan kepada mereka dan memberikan jawabannya yang benar.

T:  Siapakah yang menjadi hakim? J: Allah yang manjadi hakim. 

T: Mengapa Ia yang menjadi hakim? J: Ia yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah — bukan lawan saya (pancaidera yang kebendaan, saya tambahkan).

T: Siapakah lawan kita? J: Lawan kita tidak ada.

T: Mengapa lawan kita tidak ada? J: Karena lawan kita hanyalah suara yang menyimpang dari kebenaran yang kita ucapkan.

Andrea McCormick
New York, New York, A.S.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.