Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Pembaharuan dan substansi hidup yang sesungguhnya

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 19 Januari 2018

Aslinya diterbitkan di edisi Januari 2011 majalah The Christian Science Journal


Konsep mengenai Substansi berperan penting dalam semua yang kita kerjakan atau pikirkan. Hal itu berkaitan dengan kesehatan kita, kebutuhan kita sehari-hari, kasih kita kepada sesama, dan kebahagiaan kita. Jika kita melihat substansi kita sebagai bersifat kebendaan, maka hal itu dapat berubah-ubah dan terbatas. Bahkan jika segala sesuatu berjalan lancar, sedikit-banyak selalu ada ketidakpastian terkait dengan semua itu. Tetapi jika kita bisa melihat bahwa substansi kita berasal dari Allah dan sudah tercakup dalam identitas rohaniah kita, maka keterbatasan-keterbatasan serta kesulitan-kesulitan ini sirna.

Yesus menunjukkan kebenaran tentang wujud kita ini. Ia memberitahu kita untuk berpaling kepada Allah, Roh, sebagai substansi kita yang sesungguhnya. Ia bersabda, “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna” (Yohanes 6:63). Apakah ia mengatakan agar kita mengabaikan semua keterangan penanggapan kebendaan tentang substansi? Tidak, saya percaya bahwa Yesus melakukan sesuatu yang jauh lebih radikal—membimbing kita untuk meluhurkan diri sepenuhnya keluar dari pandangan yang kebendaan.

Di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Mary Baker Eddy memperkuat pemahaman ini ketika mengatakan, “Metafisika menguraikan benda sebagai pikiran, dan mengganti obyek-obyek pancaindera dengan ide-ide Jiwa” (hlm. 269). Memandang hidup dengan cara ini, sama sekali bukan berarti mengabaikan “obyek-obyek pancaindera” di sekeliling kita—melainkan menerjemahkannya sebagai persepsi mental.

Tetapi Ilmupengetahuan Kristen tidak hanya berhenti di situ—hanya melihat hal-hal yang kebendaan sebagai fenomena mental. Kita dibawanya lebih jauh dengan mengganti  persepsi mental yang kebendaan ini dengan ide-ide Jiwa, yang adalah ide-ide yang benar-benar bersifat ilahi dan kekal.

Berdasarkan Allah, bukan berdasarkan zat

Ilmupengetahuan Kristen menunjukkan bahwa semua yang kita alami sesungguhnya bersifat mental—meskipun bagi pancaindera kebendaan, dan dari sudut pandang semua yang telah diajarkan kepada kita, segala sesuatu seakan bersifat kebendaan. Ilmupengetahuan ini menunjukkan bagaimana mengganti kesan-kesan mental yang berorientasi kebendaan ini dengan ide-ide yang menunjukkan sifat Allah. Ini dilakukan dengan mengidentifikasi Allah sebagai dasar semua wujud yang sejati, sebagai Jiwa itu sendiri dari kehidupan. Jiwa, suatu sinonim atau nama Allah, juga adalah Budi Ilahi, sumber dari segala ide yang sejati. Kita dapat melihat bahwa ide-ide yang berdasarkan Allah ini bersifat permanen dan senantiasa tersedia. Semua ide itu merupakan substansi sesungguhnya akan kesehatan serta kebahagiaan kita, dan adalah jawaban untuk setiap keperluan kita. Saya melihat seluruh sejarah Alkitab sebagai ceritera tentang pencarian manusia untuk mendapatkan substansi—yang terjawab dengan berpaling kepada Allah sebagai sumber yang berkelanjutan dari identitas kita yang sesungguhnya serta ide-ide yang tercakup di dalamnya.

Selain Allah sebagai Jiwa dan Budi, sinonim lain bagi Allah adalah Kasih. Kasih ini memelihara setiap unsur dari ciptaannya yang sangat berharga, anda dan setiap orang. Kasih adalah substansi yang sebenarnya dari pikiran anda. Dan manakala anda melihat bahwa Kasih ilahi adalah substansi dari pemikiran anda, maka setiap pikiran dalam kesadaran menyatakan rasa dikasihi serta diperlengkapi dengan segala kebaikan yang diperlukan. Secara insani, pikiran-pikiran tersebut mungkin muncul sebagai rumah, makanan, pakaian—sebagai keperluan yang terpenuhi. Tetapi soliditas serta kekekalannya tidak berada dalam zat. Demikian juga kebaikan tidaklah bersumber pada orang. Kebaikan diindividuilkan sebagai cerminan dari Kasih yang tidak berhingga yang adalah Allah.

Setiap penjelmaan dari Kasih ini, dari perbuatan yang sekecil-kecilnya sampai kepada kegiatan global yang paling produktif, adalah saksi akan sifat serta keberadaan Allah. Petunjuk-petunjuk tentang Allah ini membuka mata kita kepada luas yang tidak berhingga dari ide-ide Kasih dan menunjukkan kepada kita Hidup yang baka—yang bertahan selamanya dan tidak dapat dihancurkan. Lalu bagaimana jika penjelmaan Jiwa ini seakan tidak muncul? Maka kita perlu menimba dari keselaluhadiran Allah sebagai Hidup, Kasih, dan Budi kita untuk membebaskan kita dari konsep bahwa substansi dipengaruhi waktu atau faktor apa pun yang membatasi.

Substansi bersifat tetap, berkelanjutan  

Saya akan memberi suatu contoh yang sangat sederhana tentang bagaimana memandang substansi sebagai Roh—alih-alih zat—mengatasi apa yang seakan sebagai masalah kebendaan. Seorang gadis yang saya kenal, yang saat itu duduk di bangku SMP, harus menjalani suatu pemeriksaan fisik untuk dapat bermain bola voli. Dokter mengatakan bahwa gadis itu mengalami infeksi pada ginjalnya sehingga tidak dapat berpartisipasi tanpa menjalani pengobatan. Ibu gadis itu mulai berdoa untuk melihat bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, dan bahwa ciptaannya haruslah selamanya murni dan sempurna. Ibu itu menyadari, bahwa Allah, sebagai Budi, mengendalikan semua fungsi serta keadaan—dan bukan zat yang memegang kendali. Ibu itu berdoa untuk mengetahui bahwa zat, yang adalah konsep yang keliru tentang substansi, harus menyerah kepada konsep yang benar bahwa substansi bersifat rohaniah dan selaras. Gadis itu diperiksa kembali dan ternyata tidak ada infeksi.

Ketika gadis itu jauh lebih muda, ia pernah mengalami masalah fisik lain yang mendorong ibunya untuk mencari arti kata kidney (ginjal) di dalam kamus. Gadis itu memiliki rambut merah yang indah yang sering dihubungkan dengan memiliki sifat pemarah, dan saat itu ia sedang melampiaskan sifat itu. Sang ibu terkejut saat menemukan bahwa salah satu definisi umum untuk kidney di kamus Webster merujuk kepada “temperamen.” Ibu itu tahu bahwa anak Allah hanya dapat mencerminkan kegiatan Budi yang tenang dan konsisten. Karena itu ia berpaling kepada gadis kecilnya dan berkata, “Engkau adalah anak Allah yang sempurna. Ini sudah selalu benar, dan benar saat ini juga.” Pemahaman sang ibu tentang fakta ini begitu kuat sehingga sifat pemarah serta masalah itu lenyap.

Apa yang sesungguhnya terjadi di kedua kasus ini? Apakah suatu keadaan kebendaan telah berubah? Itulah yang kelihatannya terjadi. Tetapi apakah yang sesungguhnya terjadi? Fakta abadi tentang substansi rohaniah yang sejati dari gadis itu telah disadari secukupnya, sehingga apa yang seakan terlihat sebagai keadaan kebendaan yang tidak sempurna ternyata tidak ada. 

Status identitas kita yang sesungguhnya tidak berubah. Allah sebagai Budi yang cerdas dan sempurna tidak bisa menciptakan ideNya, manusia, sebagai sesuatu yang lain daripada keserupaanNya sendiri yang sempurna, yang menyatakan sifatNya. Dengan mengakui hal ini, kita menghilangkan pemahaman keliru apa pun yang berusaha mengaburkan wujud rohaniah kita—substansi kita yang sesungguhnya—dan ini terlihat sebagai keperluan dasar kita yang terpenuhi dalam pengalaman kita. Kita tidak perlu menentukan bagaimana bentuk penyelesaian masalah itu. Sesungguhnya kita tidak bisa secara insani menggambarkan bentuk spesifik dari substansi. Budi ilahi telah menciptakan ide-ide abadi yang menyusun ciptaan Allah, dan terus-menerus menyatakannya. Pada akhirnya ide-ide inilah yang akan menang atas kepercayaan-kepercayaan insani, sampai yang terlihat sebagai ketidaksempurnaan menyerah kepada pandangan yang lebih selaras tentang substansi.

Satu-satunya wujud kita: bukan hanya “milik kita”

Suatu pandangan yang benar tentang substansi membuka jalan untuk membuang keterbatasan akan apa pun, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaan dan keuangan. Saya ingat betapa hal itu telah membuat perbedaan besar bagi saya ketika saya baru saja pindah ke suatu kota di mana saya tidak mengenal siapa pun. Tujuan saya pindah ke kota itu adalah untuk membuka praktek umum penyembuhan Ilmupengetahuan Kristen. Setelah satu tahun, saya mengalami sedikit kemajuan dalam praktek saya, tetapi dengan lambat. Suatu sore, saya duduk di kamar saya di YMCA—tanpa uang dan merasa seorang diri. Saya memikirkan teman-teman saya yang maju dalam profesi mereka dan menikmati hidup. Saat saya terus memikirkan keadaan saya dan berdoa, tiba-tiba saya mendapat pandangan lain tentang substansi. Saya sadar, bahwa sesungguhnya saya tidak pernah bisa memiliki lebih banyak daripada yang saya miliki saat itu. Saya mencakup semua ide Budi, dan saya tidak bisa memiliki lebih dari semua. Kali ini, saya melihat substansi harta dan persahabatan saya dari sudut pandang yang rohaniah alih-alih kebendaan.

Keesokan harinya, saya tidak memiliki uang lebih banyak dan persahabatan yang menakjubkan pun tidak saya temukan. Tetapi hidup saya berbeda. Saya merasa memiliki kekayaan yang tidak berhingga. Saya merasa dipenuhi dengan setiap pikiran yang dipancarkan Allah kepada saya. Saya dapat menerima hal itu sebagai substansi saya yang abadi dan tidak terbatas. Saya juga melihat bahwa saya dapat mengaktifkan ide-ide rohaniah ini dalam cara-cara yang produktif dan menyembuhkan. Ketika saya melakukan hal tersebut, hidup serta kegunaan saya terus berkembang. Saya tidak perlu memikirkan apa yang saya miliki atau tidak miliki. Saya hanya perlu berpikir apa yang dapat saya berikan dan nyatakan secara rohaniah. Maka semua yang dibutuhkan untuk mendapatkan pemenuhan dalam hidup akan muncul dengan cara yang wajar. Saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah perlu lagi menangani rasa keterbatasan, tetapi saya dapat melihat hal itu sebagai tuntutan untuk melihat lebih banyak kehadiran substansi rohaniah dan untuk semakin tumbuh dalam keyakinan serta pengertian saya. 

Ketika saya memahami hal ini untuk diri saya sendiri, maka saya juga dapat mengetahui substansi yang sesungguhnya untuk orang lain. Suatu wawasan penting dalam membantu orang lain adalah pengertian bahwa hanya ada satu pernyataan Allah yang tidak berhingga, yang kita ketahui secara umum sebagai manusia. Di tingkat yang kebendaan, kelihatannya saya dikelilingi banyak pribadi fana yang terpisah-pisah, masing-masing dengan hidupnya sendiri, tubuhnya sendiri, miliknya sendiri dan masalahnya sendiri. Tetapi saya dapat melihat bahwa semua itu adalah pandangan yang keliru tentang substansi manusia sebagai ide Roh, manifestasi yang tidak berhingga dari Allah sebagai Budi. Saya melihat manifestasi yang tidak berhingga tersebut sebagai identitas saya yang sejati, dan menyadari bahwa sebagai cerminan individuil Budi yang tidak berhingga, saya mencakup suatu kesadaran akan setiap ide yang diciptakan Budi. Saya juga menyadari bahwa sebagaimana saya tidak bisa kehilangan kesadaran akan identitas saya yang sejati—substansi saya—orang lainpun tidak bisa.

Ini sesuai dengan suatu asas matematika. Misalnya, saya dapat menyadari angka tujuh dan menggunakannya, tetapi hal itu tidak menghalangi orang lain menggunakan angka tujuh. Kita semua bersatu dalam menggunakan angka tujuh, tetapi tetap mempertahankan identitas kita yang berbeda dalam menggunakannya. Dengan cara yang sama, kita masing-masing menyatakan Allah sepenuhnya, dengan unik, dan berbeda. Kesadaran bersama tentang totalitas Budi ini mempersatukan kita—sementara tetap mempertahankan keragaman yang tidak berhingga dari manifestasi Allah.

Substansi yang sejati adalah identifikasi yang benar tentang diri kita sebagai cerminan Allah—Budi, Kasih, dan Roh. Maka saran yang membatasi bahwa hidup dikendalikan oleh penanggapan jasmaniah serta pendidikan yang keliru, dengan berhasil diganti dengan wahyu yang berkelanjutan tentang kemampuan, keindahan, sukacita, dan kelimpahan yang adalah sifat ciptaan Allah. Kemunculan substansi ini tidak akan pernah berhenti, melainkan berkembang kepada kemuliaan yang tidak habis-habisnya akan Allah dan pernyataanNya yang sangat berharga, anda dan saya, sekarang dan selamanya. 


Charles Ferris adalah seorang penyembuh dan guru Ilmupengetahuan Kristen di Minneapolis, Minnesota, AS.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.