Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Buanglah batu-batu itu

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Maret 2012

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 12 Juli 2010


Kita semua memikul terlalu banyak beban. Kita tahu, bahwa seharusnya kita memeriksa apa yang ingin kita tanggalkan dan merintis jalan ke depan bagi kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Tetapi terkadang kita tidak tahu apa yang perlu kita buang. Mungkin kita perlu memeriksa beban kita sebelum mengambil tindakan.

Misalnya, marilah kita renungkan cerita lama tentang empat remaja putra yang mendaki pegunungan  Rockies menuju danau di atas batas hutan. Semuanya pendaki berpengalaman kecuali satu orang. Setiap kali mereka ingin berhenti dan beristirahat, pendaki yang tidak berpengalaman justru terus maju.

Oleh karena itu, pada suatu perhentian mereka memaksanya duduk. Kemudian, saat  dia tidak melihat, mereka memasukkan batu ke ranselnya yang berisi kantung tidur, kamera, dan wajan penggorengannya. Di perhentian berikutnya mereka melakukan hal yang sama. Saat tiba di danau, anak itu tiba paling akhir, terseok-seok karena beratnya beban.

Dalam kehidupan yang sesungguhnya, kita tidak memerlukan teman atau lawan untuk menaruh batu di ransel kita. Kita sendiri melakukannya dengan sangat baik. Tetapi cerita itu mengingatkan agar kita tidak memikul beban yang tidak berguna. Masalah-masalah yang tidak terselesaikan di masa lalu hanya memiliki bobot yang kita berikan kepadanya.

Seringkali hidup ini diibaratkan sebagai suatu jalan, biasanya jalan yang menanjak. Batu-batu itu—apakah itu tuntutan keuangan yang terus mengganggu, masalah keturunan, masalah kesehatan, mitos keagamaan, dosa yang tidak disembuhkan, rasa bersalah yang tidak berkesudahan, kepuasan dalam membalas dendam, keputusan pribadi yang diragukan, atau apa saja—tidak mendapat tempat di jalan yang kita lalui saat ini, yang menuju kesadaran yang lebih baik dan praktis akan wujud kita yang ilahi sebagai putera dan puteri Allah.

Batu-batu yang bersifat mental itu, beban itu, tidak hanya memperlambat kemajuan kita, tetapi menekan dan menjadikan kita tidak bisa bergerak, seperti yang terjadi dahulu kala pada pria yang tidak berdaya di kolam Betesda, di Yerusalem. Injil Yohanes mengisahkan bahwa orang itu telah terbaring di sana selama 38 tahun dan selalu menyalahkan tidak adanya bantuan untuk  ketidakmampuannya mengalahkan para penderita lain mencapai air  “yang menyembuhkan,” saat malaikat mengguncang air di kolam itu. Ketika Yesus bertanya “Maukah engkau sembuh?” orang itu tetap memusatkan perhatiannya kepada masalahnya dan tidak menjawab pertanyaan Yesus. 

Cerita dalam Alkitab tersebut tidak menjelaskan beban sejarah apa yang dipikul orang itu, dan Yesus pun tidak bertanya, “Apa masalahmu?” Yesus yang tidak mau menerima alasan yang palsu, dan hanya melihat manusia yang sempurna ciptaan Allah, hanya berkata, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah” Hasilnya: “Pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan” (Yoh 5:2–9).

Jadi, apakah pelajaran yang dapat kita petik dari sini? Apakah kita dibebani rasa takut, iri hati, cemburu, kemauan diri, kebencian, kemalasan mental? Apakah kita menolak firman Hidup, Kebenaran dan Kasih yang meluhurkan?

Jika kita tidak waspada untuk menolak pikiran seperti itu, kita pun dapat berada dalam keadaan mental serupa yang melumpuhkan, membiarkan informasi yang salah  memasuki pikiran kita. Kita harus sama sekali membebaskan pikiran dari saran-saran seperti itu, meskipun saran-saran tersebut terdengar sangat masuk akal dan gencar. Jika tidak, sulit bagi kita untuk bangkit, berdiri, apa lagi bergerak maju, dengan nyaman menyusuri jalan menuju kehidupan yang ditandai kemajuan rohaniah yang sesungguhnya. 

Tentu saja, tidak ada sesuatu yang membebani dalam kenangan yang indah. Kita dapat menyimpan kenangan manis dekat di hati kita dalam perjalanan ini. Tetapi kita harus memeriksa ransel kita untuk memastikan bahwa yang ada di situ hanyalah yang berguna  bagi kemajuan rohaniah. Setiap hari kita dapat mendaki jalan kehidupan dengan membuktikan bahwa kita menangani masalah kita dan berperilaku penuh tanggungjawab, menghormati sesama, dan mempercepat pendakian kita dengan membuang setiap kerikil pikiran yang meragukan sebelum hal itu membatu. 

Dalam tulisannya yang diawali dengan kutipan dari Rasul Paulus ini, Mary Baker Eddy menyatakan: “‘Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita’; artinya, marilah kita melepaskan keakuan serta penanggapan yang kebendaan dan mencari Asas ilahi serta Ilmupengetahuan semua penyembuhan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 20).

Setelah beberapa tahun berusaha tanpa hasil untuk mendaki dengan ransel yang penuh beban, saya menjadi yakin bahwa doa membimbing kita kepada, dan menjaga kita tetap, pada jalan menuju kemajuan rohaniah. Kita sesungguhnya bebas, sekarang juga—tidak dibebani, melainkan diberdayakan oleh Allah, Roh ilahi, untuk mencapai tujuan yang bermakna. Tidak pernah terlambat untuk membuang batu-batu yang membebani dan mencapai puncak! 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.